MEMBANGUN BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH

 

 

Budaya positif merupakan perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diterapkan di sekolah. Budaya positif ini diawali dengan perubahan paradigma dalam pendidikan. Perubahan paradigma ini dimulai dari masing-masing guru secara individu terlebih dahulu. Melalui modul 1.1 hingga modul 1.4. saya mempelajari banyak hal tentang perubahan paradigma ini. Saya menyadari bahwa perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri, dari hal yang kecil, dan dimulai secepatnya. Namun perubahan paradigma atau cara berpikir tentu memerlukan waktu. Oleh karena itu dalam tulisan ini saya akan memaparkan hasil kesimpulan dan refleksi terhadap materi modul dan bagaimana saya berusaha menerapkannya.

Pada pendidikan guru penggerak, perubahan paradigma dimulai dari pembelajaran materi modul 1.1.. Dalam modul ini saya belajar tentang bagaimana merefleksikan Filosofi KHD bahwa peran seorang pendidik salah satunya yaitu peran untuk menuntun sesuai kodrat anak, baik itu kodrat alam maupun kodrat zaman, sehingga murid berproses dan bertumbuh dengan kekuatan kodratnya. Dalam proses menuntun ini KHD mengibaratkan peran pendidik seperti peran petani yang menanam benih tumbuhan hingga merawat dan memupuknya hingga terus bertumbuh.

Jika dikaitkan dengan materi pada modul 1.2, dapat dipahami bahwa untuk menjalankan tugas dan perannya sebagai pendidik, seorang guru terutama guru penggerak harus berorientasi pada kebutuhan murid dan dapat menuntun sesuai kekuatan kodrat murid. Untuk mewujudkan pendidikan tersebut, seorang guru penggerak harus memiliki nilai berpihak pada murid, mandiri, reflektif, kolaboratif, dan inovatif. Pada progress ini saya sempat merasa terbangun dari tidur dan tersadar bahwa selama ini ternyata saya belum sepenuhnya berorientasi atau berpihak pada murid. Setelah belajar modul 1.1 dan 1.2 ini saya selalu mempertimbangkan segala sesuatu apakah ini berpihak pada murid ataukah tidak.

Selain memiliki nilai-nilai di atas, guru juga memiliki visi sebagai gambaran bagaimana murid yang diimpikan. Ada standar profil atau sosok seperti apa yang ingin diwujudkan untuk murid-muridnya. Profil tersebut bernama Profil Pelajar Pancasila. Profil Pelajar Pancasila mengandung enam dimensi yaitu: (1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; (2) Mandiri; (3) Bergotong-royong; (4) Berkebinekaan global; (5) Bernalar kritis; (6) Kreatif. Dalam mewujudkan pelajar yang berprofil Pancasila tersebut, guru diharapkan mempunyai visi untuk membawa perubahan pendidikan ke arah yang lebih baik di lingkungan sekolahnya. \

Seorang guru diharapkan juga memiliki visi pribadi. Agar dapat mewujudkan visi tersebut tentu guru perlu melakukan perubahan. Untuk itu diperlukan sebuah pendekatan atau paradigma untuk dapat mencapai tujuan. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan Inkuiri Apresiatif (IA). IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Hal ini saya pelajari pada modul 1.3. tentang Visi Guru Penggerak. Dalam modul ini dijelaskan tentang  IA sebagai salah satu model manajemen perubahan di lingkungan pembelajaran dapat diterapkan melaluai tahapan BAGJA (Buat pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi, Jabarkan Rencana, dan Atur Eksekusi). Dengan modul BAGJA, prakarsa perubahan yang dirumuskan oleh guru menjadi lebih terstruktur perencanaan dan penjabarannya. Pada saat belajar modul 1.3. ini saya bersyukur sekali seperti menemukan sesuatu yang selama ini saya cari yaitu bagaimana tahapan BAGJA sangat membantu menjabarkan rencana dan langkah apa yang harus dilakukan dengan lebih rapi dan terstruktur.

Menyambung modul 1.3. yaitu modul 1.4. yakni tentang Budaya positif, saya mempelajari banyak hal yang juga mengubah paradigma. Di dalam modul ini saya mengeksplorasi materi yang sangat menakjubkan. Meski banyak sekali materi yang harus dieksplor, tetapi semuanya menarik dan sangat saya butuhkan. Setelah belajar tentang filosofi pendidikan KHD, nilai-nilai dan peran guru penggerak, serta bagaimana merumuskan visi guru penggerak, maka di sesi ini saya dikuatkan lagi tentang bagaimana pentingnya budaya positif di sekolah yang sesuai dengan filosofi pendidikan KHD sehingga dapat membantu saya mencapai visi yang sudah saya rumuskan. Pencapaian visi ini membutuhkan peran aktif yang dapat memotivasi setiap warga sekolah agar memiliki, meyakini, dan menerapkan nilai-nilai kebajikan yang disepakati sehingga tercipta budaya positif yang berpihak pada murid. Hal ini tentu tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi membutuhkan kolaborasi dan sinergi dari seluruh warga dan stakeholder sekolah.

Dari materi Budaya Positif ini saya belajar bagaimana disiplin positif, nilai kebajikan universal, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, restitusi, keyakinan kelas, kebutuhan dasar manusia, dunia berkualitas, lima posisi kontrol dalam restitusi, dan bagaimana penerapan segitiga restitusi. Ini merupakan materi-materi sangat penting dan menarik yang memotivasi saya ingin melakukan banyak perubahan di sekolah.

Dari uraian dan koneksi materi di atas, ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan dan refleksi yang saya tulis dalam artikel ini.

Kesimpulan dari Penerapan Modul 1.1 s.d. 1.4 adalah sebagai berikut:

Di sekolah saya berperan aktif dalam menciptakan budaya positif di sekolah dengan menerapkan konsep-konsep inti seperti disiplin positif, posisi kontrol restitusi, keyakinan sekolah/kelas, segitiga restitusi dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya yaitu Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak, serta Visi Guru Penggerak dengan membentuk komunitas praktisi di sekolah. Tentunya dukungan awal berasal dari para guru dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah. Peran saya di sini adalah sebagai inisiator sekaligus praktisi. Mengingat posisi saya sebagai Kepala Sekolah, maka saya mensosialisasikan tentang materi-materi di atas secara bertahap dalam setiap rapat koordinasi maupun Forum Diskusi yang ada di sekolah. Meski tidak langsung terlihat perubahannya, tetapi pelan-pelan sudah mulai terlihat dampaknya. Sikap guru, sikap murid, atmosfer yang ada di sekolah sudah banyak menunjukkan perubahan yang positif. Berbeda dengan saat awal-awal saya bertugas sebagai Kepala Sekolah di sini yang seakan-akan ekosistem yang ada kurang berwarna.

Dalam membuat keyakinan kelas, saya mendiskusikan langkah-langkah membuat keyakinan kelas dengan para guru. Selanjutnya langkah-langkah tersebut dipraktikkan di kelas-kelas melalui bimbingan wali kelas dan melibatkan semua warga kelas. Ini sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara tentang merdeka belajar dan sesuai dengan nilai berpihak pada murid. Dalam hal ini nilai-nilai keyakinan dan kebijakan terlebih dahulu dibahas bersama oleh para guru sehingga ada persamaan persepsi. Meski awalnya harus beradaptasi dengan istilah baru, tetapi terlihat antusias yang tinggi para guru dan murid dalam melakukan upaya perubahan.

Dalam menerapkan disiplin positif dengan menanamkan motivasi intrinsik pada murid dilakukan secara bertahap. Sehingga mereka dapat melakukan disiplin positif bukan karena takut dihukum atau untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain tapi apa yang mereka kerjakan untuk menghargai dirinya sendiri dan orang lain berdasarkan nilai-nilai kebajikan yang telah mereka yakini. Kendala yang dihadapi dalam penerapan ini adalah masih ada satu dua orang yang belum memiliki persepsi yang sama. Hal ini diatasi dengan berupaya saling mengingatkan satu sama lain.

Posisi kontrol yang diterapkan di sekolah saat ini masih bervariasi. Ada yang sudah berposisi sebagai manajer, ada yang pemantau, pembuat merasa bersalah, dan sebagian lagi masih ada yang posisi penghukum. Pada setiap masalah yang dihadapi peserta didik saya berusaha memberi contoh dengan berposisi kontrol sebagai manajer, yakni berusaha berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilahkan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, dan mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Hal ini sesuai dengan konsep pemikiran KHD bahwa salah satu tugas guru adalah untuk memfasilitasi murid sesuai dengan kodrat alam dan zamannya.

Dalam menghadapi permasalahan murid saya sudah mulai berusaha menerapkan segitiga restitusi, yang terdiri dari 3 tahap yaitu (1) menstabilkan identitas, supaya murid mempunyai rasa percaya diri untuk memperbaiki kesalahan setelah melakukannya, lalu (2) memvalidasi tindakan yang salah, supaya murid dapat mengungkapkan tujuan tindakan yang sudah dilakukan dan dapat mengambil solusi terbaik untuk memperbaiki kesalahannya, kemudian tahap (3) menanyakan keyakinan kelas, supaya murid mengingat kembali keyakinan kelas dan berusaha menerapkan keyakinan kelas tersebut. Hal ini sesuai dengan filosofi KHD tentang nilai berpihak pada murid, dan mau melakukan refleksi. Adapun dari sisi peran Guru Penggerak adalah sebagai pemimpin pembelajaran. Tentunya ini juga merupakan salah satu strategi dalam mencapai visi yang sudah dirumuskan.

Selanjutnya dalam berefleksi terhadap implementasi modul 1, ada 8 pertanyaan pemantik bagi saya untuk dapat merumuskan konsep apa saja yang saya peroleh dari modul ini serta hal-hal positif apa saja yang sudah dilakukan.

1.      Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep inti yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: disiplin positif, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Adakah hal-hal yang menarik untuk Anda dan di luar dugaan?

Untuk membangun budaya positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman dan nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak dan mencipta dengan merdeka, mandiri dan bertanggung jawab. Adapun konsep-konsep inti yang saya pelajari dari modul ini tentang:

a) Disiplin positif;

Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa untuk mencapai merdeka belajar/murid yang merdeka, syarat utamanya adalah disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri yang memiliki motivasi internal.

Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik bukan ekstrinsik.

Jadi disiplin positif yang dimaksud adalah disiplin diri yaitu bagaimana mengontrol diri dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai agar tercapai tujuan mulia yang diinginkan. Dengan kata lain, disiplin diri berarti sikap mempertanggungjawabkan terhadap apa yang dilakukannya berdasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal.


b) Posisi kontrol guru;

Ada 5 posisi kontrol guru, yaitu posisi sebagai penghukum, pembuat orang merasa bersalah, teman, pemantau dan manajer.

(1) Penghukum. Pada posisi kontrol sebagai penghukum, biasanya guru menggunakan hukuman fisik/verbal saat melihat anak muridnya melakukan kesalahan. Penghukum selalu mengatakan bahwa sekolah memerlukan system atau alat yang dapat menekan murid-murid lebih dalam lagi. Dia hanya percaya pada satu cara agar pembelajaran berhasil yaitu cara dia sendiri.

(2) Pembuat orang merasa bersalah. Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut, menggunakan keheningan yang membuat murid merasa tidak nyaman, bersalah/ rendah diri. Hal ini bisa berdampak pada psikologis murid, di mana ia akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang dirinya bahkan mungkin merasa tidak berharga karena telah mengecewakan orang-orang yang disayanginya.

(3) Teman. Pada posisi teman, guru tidak akan menyakiti murid namun berupaya mengontrol murid melalui persuasi (ajakan). Guru akan menggunakan hubungan baik dan humor untuk memengaruhi murid. Namun perilaku ini dapat membuat murid bergantung pada guru tersebut.

(4) Pemantau. Memantau berarti mengawasi. Dalam posisi ini, jika kita mengawasi maka kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Biasanya guru mengandalkan perhitungan ataupun data dan catatan berdasarkan peraturan dan konsekuensi dalam mengawasi dan bertanggung jawab atas perilaku muridnya.

(5) Manajer. Pada posisi ini tugas dari guru yang memosisikan dirinya sebagai manajer bukan untuk mengatur perilaku sesorang tapi membimbing murid untuk mengatur dirinya sendiri. Murid dipersilakan untuk bertanggung jawab atas perilakunya dan mendukung murid menemukan solusi. Selanjutnya murid diajak menganalisis kebutuhan orang lain untuk kemudian berkolaborasi dengan murid untuk memperbaiki kesalahan.


c) Kebutuhan Dasar Manusia;

Terdapat 5 kebutuhan dasar manusia, yaitu: kebutuhan bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power).

(1) Kebutuhan bertahan hidup. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan yang bersifat fisiologis seperti kesehatan, rumah, dan makanan. Kebutuhan biologis sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan perasaan aman.

(2) Kasih sayang dan Rasa Diterima (Kebutuhan untuk Diterima). Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan psikologis. Kebutuhan untuk disayangi dan diterima meliputi kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan ini juga meliputi keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan hidup, teman kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana kita tergabung.

(3) Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan.  Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita, didengarkan dan memiliki rasa harga diri. Kebutuhan ini meliputi keinginan untuk dianggap berharga, bisa membuat perbedaan, bisa membuat pencapaian, kompeten, diakui, dihormati. Ini meliputi self esteem, dan keinginan untuk meninggalkan pengaruh.

(4) Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan) yakni kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anak-anak dengan kebutuhan kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan, mereka perlu banyak bergerak, suka mencoba-coba, tidak terlalu terpengaruh orang lain dan senang mencoba hal baru dan menarik.

(5) Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang) Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain, dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa kenikmatan apa pun, betapa menyedihkan. Glasser menghubungkan kebutuhan akan kesenangan dengan belajar. Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi (anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain, mereka mempelajari keterampilan hidup yang penting.


d) Keyakinan kelas

Keyakinan kelas adalah nilai – nilai kebajikan/prinsip – prinsip universal yang disepakati bersama secara universal lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. eseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan memahami arti sesungguhnya tentang peraturan-peraturan yang diberikan, apa nilai-nilai kebajikan dibalik peraturan tersebut, apa tujuan utamanya, dan menjadi tidak tertarik, atau takut sehingga hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur mereka tanpa memahami tujuan mulianya.

e) Segitiga Restitusi

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi murid untuk memperbaiki kesalahannya, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat. (Gossen, 2004). Restitusi membantu murid memiliki tujuan, disiplin positif dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah.

Adapun segitiga restitusi adalah tiga tahapan saat guru hendak melakukan restitusi, yakni: menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan.

(e.1) Menstabilkan identitas

Langkah ini dilakukan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang melanggar peraturan karena sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal.

 

(e.2.) Validasi Tindakan yang Salah

Pada langkah ini, guru memahami bahwa dalam teori kontrol semua perilaku memiliki alasan. Setiap tindakan dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Langkah ini dilakukan untuk berusaha memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan berusaha menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

(e.3) Menanyakan Keyakinan

Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan guru dalam langkah ini berorientasi pada menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.

Ketika anak sudah mendapat gambaran yang jelas tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, guru dapat membantu anak-anak tetap fokus pada gambaran tersebut.

 

     Hal-hal menarik di luar dugaan saat mempraktikkan segitiga restitusi adalah anak tidak hanya menyadari kesalahannya tetapi ternyata kreativitas dan tanggung jawabnya juga muncul. Selain itu ada rasa nyaman dalam berinteraksi antara guru dan murid, serta dapat mencari alternatif solusi dengan cara tetap tenang.

 

2. Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini?

Ada beberapa perubahan positif yang terjadi pada cara berpikir saya setelah mempelajari modul ini. Diantaranya yaitu :

-          Nilai-nilai kebajikan yang selama ini sudah saya gunakan untuk memberikan sugesti dan afirmasi positif pada anak ternyata dapat digunakan untuk menyusun keyakinan kelas atau keyakinan sekolah. Dulu saya belum mengenal tentang apa itu keyakinan kelas atau keyakinan sekolah. Sekarang ketika sudah mempelajarinya menjadi semakin termotivasi dalam melakukan perubahan.

-          Penerapan disiplin positif yang selama ini masih dikondisikan, perlu diubah dengan menggunakan keyakinan kelas/ sekolah agar muncul motivasi internal pada diri murid sehingga dapat terwujud disiplin diri atau disiplin positif.

-          Posisi kontrol yang selama ini cenderung sebagai penghukum, pemantau, dan pembuat merasa bersalah, pelan-pelan mulai berubah ke arah posisi manajer. Namun perubahan ini perlu waktu. Adanya koordinasi rutin, komunikasi yang efektif, dan saling mengingatkan menjadi alternatif solusi agar perubahan dapat diwujudkan.

-          Budaya positif tidak dapat hanya dilakukan oleh satu dua orang guru, tetapi harus bersama-sama dan berkolaborasi serta menyamakan persepsi sehingga dapat terwujud.

-          Sebagai guru kita harus mengidentifikasi kebutuhan dasar apa yang perlu dipenuhi murid. Selain itu posisi kontrol yang selama ini dilakukan seorang guru pada dasarnya harus menuju pada posisi manajer agar dapat muncul motivasi internal pada murid.


     3. Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Anda?

-          Ternyata saya pernah menggunakan nilai-nilai kebajikan yang saya gunakan untuk diterapkan di kelas. Akan tetapi saat itu saya belum tahu tentang istilah keyakinan kelas. 

       Pengalaman menerapkan restitusi dengan posisi manajer ternyata sangat menyenangkan, baik untuk guru maupun murid. Masih perlu waktu untuk perubahan posisi kontrol, karena kebiasaan para guru masih di posisi penghukum, pemantau, teman, dan juga pembuat merasa bersalah.

 

4.      4. Bagaimanakah perasaan Anda ketika mengalami hal-hal tersebut?

Ketika menerapkan restitusi dengan posisi manajer saya merasa senang dan takjub. Kenapa tidak dari dulu saya belajar tentang ini. Meski demikian saya masih perlu banyak mempraktikkannya. Adapun pengalaman lain tentang nilai-nilai kebajikan yang kemudian menjadi keyakinan kelas atau sekolah tentu menjadi pelajaran berharga yang harus lebih disempurnakan lagi.

5. Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah yang perlu diperbaiki?

-          Dalam menerapkan budaya positif, restitusi,dan keyakinan kelas, hal yang sudah baik adalah ada beberapa nilai kebajikan yang menjadi keyakinan kelas dan dirumuskan oleh guru dan semua warga kelas.

-          Penerapan disiplin positif sudah ada progress yang baik. Namun ada beberapa hal yang perlu diperbaiki yaitu masih ada yang belum sama persepsinya, sehingga antar guru satu dengan guru yang lain belum sefrekuensi dalam menerapkannya. Solusinya terus diupayakan adanya kegiaan diskusi dan persamaan persepsi. Jika perlu ada simulasi  bergantian sehingga dapat lebih optimal.

-          Posisi kontrol masih dominan penghukum dan pemantau. Hal ini perlu waktu dan perlu belajar bersama lagi sehingga semua guru memiliki persepsi yang sama. Alternatif solusinya adalaha harus saling mengingatkan karena apa yang sudah menjadi kebiasaan tidak mudah untuk diubah. Sehingga perlu antar guru saling membantu dan saling mengingatkan. FGD yang sudah ada perlu lebih dirutinkan agar selain bisa mengingatkan juga bisa menularkan semangat kepada guru lain.

 

 

6.  6. Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? Setelah mempelajari modul ini,  posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya? 

Sebelum mempelajari modul ini saya lebih sering ke penghukum, pemantau, teman, dan kadang pembuat merasa bersalah. Rasanya tidak nyaman. Ketidaknyamanan ini bukan hanya ada pada saya, tetapi juga pada rekan guru dan juga murid.

Setelah mempelajari modul ini saya selalu berusaha untuk menerapkan peran di posisi manajer untuk menyelesaikan kasus murid.  Rasanya lebih nyaman, lebih menghargai orang lain, dan dapat menggali potensi murid.

Perbedaannya adalah pada perasaan guru, perasaan murid, dan dampak psikologis murid. Selain itu dampak perubahan sikap juga lebih bagus ketika guru berperan pada posisi manajer.

7Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktekkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?

Belum pernah secara lengkap tiga-tiganya. Namun pernah melakukan tahap menstabilkan identitas. Pada tahap menstabilkan identitas saya meyakinkan pada murid bahwa berbuat salah itu tidak apa-apa.  Saya mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tak pernah berbuat salah. Bahkan Bu guru sendiri pun pernah melakukan kesalahan. Saat itu saya berharap ada growth mindset pada diri murid sehingga dia tidak takut tetapi justru berani untuk memperbaiki kesalahannya.

8.    8. Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah?

Menurut saya hal penting lain dalam mewujudkan budaya positif sekolah adalah terus belajar dan berusaha menciptakan budaya positif di lingkungan kelas ataupun sekolah dengan mengutamakan sikap saling menghargai antar warga sekolah. Baik itu murid dengan murid, murid dengan guru, guru dengan guru, guru dengan kepala sekolah, kepala sekolah dengan guru, maupun kepala sekolah dengan murid. Ada hubungan yang saling memanusiakan atau saling menghargai satu sama lain. Hal ini dapat diperoleh dengan semua mau terus belajar tentang bagaimana berpikiran positif, berkata positif, dan bersikap yang positif. Hal ini terkait dengan kematangan pribadi setiap guru. Saya sendiri terkadang masih memerlukan dukungan mental pada saat mengalami masalah. Demikian pula Bapak Ibu guru lain. Maka sangat penting bagi saya untuk terus membudayakan sikap saling membantu, saling memahami satu sama lain, dan menguatkan rasa empati terhadap sesama.

Untuk menguatkan hal ini saya belajar di seminar-seminar atau webinar-sebinar tentang bagaimana mengelola emosi, bagaimana melakukan komunikasi efektif, dan lain-lain.

 

Dari kesimpulan dan refleksi di atas, saya semakin menyadari bahwa seorang guru tidak bisa berhenti belajar. Bahkan jika berani mengajar berarti harus berani terus belajar. Karena ternyata banyak sekali yang selama ini belum dipelajari padahal sangat penting sebagai bekal menjadi guru yang berpihak pada murid. []

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN

PEMIKIRAN REFLEKTIF TENTANG COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK TERKAIT DENGAN PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI DAN PEMBELAJARAN SOSIAL-EMOSIONAL (KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.3.)

IMPLEMENTASI MEMBANGUN BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH