IMPLEMENTASI MEMBANGUN BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH

 

(Sebuah Rangkaian Aksi Nyata)

Oleh: Hibatun Wafiroh, S.Pd. Si., M.Pd.




 

Budaya positif adalah suatu pembiasaan yang bernilai positif, yang di dalamnya mengandung sejumlah kegiatan yang mampu menumbuhkan karakter murid. Budaya positif merupakan perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diterapkan di sekolah. Budaya positif ini diawali dengan perubahan paradigma dalam pendidikan. Perubahan paradigma ini dimulai dari masing-masing guru secara individu terlebih dahulu. Melalui modul 1.1 hingga modul 1.4. saya mempelajari banyak hal tentang perubahan paradigma ini. Saya menyadari bahwa perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri, dari hal yang kecil, dan dimulai secepatnya. Namun perubahan paradigma atau cara berpikir tentu memerlukan waktu. Oleh karena itu dalam tulisan ini saya akan memaparkan hasil kesimpulan dan refleksi terhadap materi modul  1.4 dan bagaimana saya berusaha menerapkannya.

Ada beberapa materi di modul 1.4. yang saling berkaitan yaitu Perubahan Paradigma Belajar, Disiplin Positif, Kebutuhan Dasar Manusia, Motivasi Perilaku Manusia, Posisi Kontrol Restitusi, Keyakinan Kelas, dan Segitiga Restitusi. Materi-materi tersebut sangat menarik dan jika diterapkan dapat mendukung terwujudnya Budaya Positif di lingkungan kita. Sekilas teori tentang materi-materi tersebut  

Untuk membangun  budaya positif diperlukan adanya perubahan paradigma belajar. Selama ini banyak sekali miskonsepsi yang terjadi di kalangan para guru atau orang tua. Menurut Dr. William Glasser dalam Control Theory, ada beberapa miskonsepsi atau ilusi bahwa guru mengontrol murid., bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, dan orang dewasa dianggap memiliki hak untuk memaksa. Ilusi-ilusi tersebut tidak sesuai teori kontrol.

Seringkali kita berdasarkan teori stimulus respon beranggapan bahwa realitas kebutuhan kita sama. Namun, teori kontrol menyatakan bahwa realitas kebutuhan kita berbeda. Murid kita memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Dalam teori kontrol setiap orang bisa jadi melihat objek yang sama, tetapi memiliki gambaran atau pandangan yang berbeda. Kita tidak bisa mengubah pandangan orang lain agar sama dengan kita. Namun kitalah yang harus memahami pandangan orang lain tentang dunia. Kita tidak bisa mengontrol orang lain, apalagi memaksanya. Dengan demikian kita dapat membuat kesepakatan atau consensus untuk memberikan pilihan-pilihan yang memungkinkan sehingga ada win-win solution. Paradigma baru inilah yang perlu terus kita pupuk dan kembangkan.

Tentang disipin positif, Ki Hajar Dewantara mengatakan, "Dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka." (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470).

Dari pernyataan di atas dapat kita pahami bahwa disiplin positif yang dimaksud adalah bersifat ”self discipline” atau disiplin diri. Disiplin diri yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya atas kesadaran sendiri. Disiplin diri merupakan bentuk kontrol diri, yaitu belajar untuk kontrol diri agar dapat mencapai suatu tujuan mulia. Tujuan mulia di sini mengacu pada nilai-nilai atau prinsip-prinsip mulia yang dianut seseorang. Kita namakan nilai-nilai tersebut sebagai nilai-nilai kebajikan (virtues) yang universal.

Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu. Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan.

Ada banyak nilai kebajikan yang dapat diwujudkan. Setiap institusi, lembaga, atau organisasi merumuskan nilai-nilai kebajikan yang menjadi prinsip atau tujuan mulia mereka. Sebagai contoh dalam dunia pendidikan kita bercita-cita mewujudkan profil pelajar Pancasila yang terdiri dari enam dimensi, yaitu: beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, berkebinekaan global, bergotong royong, dan kreatif.



Setiap perilaku atau tindakan manusia pasti memiliki tujuan tertentu. Kita pasti selalu ingin melakukan yang terbaik agar mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Dari modul 1.4. saya membaca tentang pernyataan Diane Gossen di dalam bukunya Restructuring School Discipline. Diane menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia:

(1)   Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut. Motivasi ini bersifat eksternal. 

(2)   Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. Motivasi ini juga bersifat eksternal. 

(3)   Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. 
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.

Bagaimana tentang keyakinan kelas? Dari serangkaian teori di atas, kita dapat memahami bahwa ada nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama di lingkungan kia. Nilai keyakinan di sini adalah menekankan pada keyakinan seseorang agar lebih memotivasi dari dalam. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan memahami arti sesungguhnya tentang peraturan-peraturan yang diberikan, apa nilai-nilai kebajikan di balik peraturan tersebut, apa tujuan utamanya, dan menjadi tidak tertarik, atau takut sehingga hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur mereka tanpa memahami tujuan mulianya.

Dalam membuat keyakinan kelas, saya mengawalinya dengan sosialisasi tentang apa dan bagaimana itu paradigma baru, disiplin positif, kebutuhan dasar manusia, restitusi, hingga keyakinan kelas. Setelah itu kami mendiskusikan langkah-langkah membuat keyakinan kelas dengan para guru. 





Pada hari yang telah disepakati, saya mengumpulkan murid-murid kelas 7A, 8A, 8B, dan 8C di aula untuk mengajak berdiskusi tentang bagaimana kelas impian mereka. Dari situ kami melanjutkannya dengan bagaimana upaya mewujudkannya. Berdasarkan hasil diskusi itulah kemudian saya menjelaskan bagaimana teori tentang disiplin positif dan keyakinan kelas. Semua kelas didampingi oleh wali kelasnya masisng-masing. Selanjutnya langkah-langkah membuat keyakinan kelas tersebut dipraktikkan di kelas-kelas melalui bimbingan wali kelas dan melibatkan semua warga kelas. Ini sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara tentang merdeka belajar dan sesuai dengan nilai berpihak pada murid.

Ada beberapa prosedur yang dilakukan dalam pembentukan keyakinan kelas yaitu:

1)  Mempersilakan setiap murid untuk menuliskan pendapat atau usulannya tentang peraturan yang perlu disepakati di kelas melalui kertas stiky note.

2)  Setiap kertas sticky note ditempelkan di kertas flano yang sudah disediakan per kelas, dan ditempel di dinding terdekat dengan dimana anggota kelas mereka duduk.

3)     Setiap kelas menyusun keyakinan kelas sesuai prosedur.

4)     Bersama wali kelas, murid-murid meninjau kembali daftar curah pendapat yang ada.

5)     Memilih 3-7 prinsip/keyakinan yang akan difokuskan agar mudah diingat dan diterapkan.

6)     Setelah keyakinan kelas selesai dibuat, maka semua warga kelas dipersilakan meninjau ulang, dan menyetujuinya dengan menandatangani keyakinan sekolah/kelas tersebut. 

7) Keyakinan kelas dibuat poster dan dilekatkan di dinding kelas di tempat yang mudah dilihat semua warga kelas.

Dengan langkah yang sama, saya mengumpulkan dan mengajak kelas 7B, 9A, 9B, dan 9C yang masing-masing didampingi wali kelasnya untuk membentuk keyakinan kelas pada hari yang berbeda. Akhirnya pada tanggal 18 Januari 2023, poster keyakinan kelas sudah terpajang di setiap kelas. Dalam menerapkan restitusi, keyakinan kelas ini menjadi acuan untuk mengingatkan murid saat melanggar keyakinan kelas yang telah disepakati tersebut.

Apa itu restitusi? Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).


Dalam restitusi ada lima jenis posisi kontrol yaitu:

(           (1) Penghukum

Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi.  Contoh pernyataannya: “Terlambat lagi, terlambat lagi! Kapan bisa datang tepat waktu?”

(2)   Pembuat Merasa Bersalah

Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut tetapi membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, dan rendah diri. Contoh pernyataannya: “Ibu sangat kecewa sekali. Gimana coba kalau orang tuamu tahu tentang hal ini”

(3)   Pemantau

Pemantau cenderung memonitor atau mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau ini biasanya berdasarkan pada peraturan dan konsekuensi. Contoh pernyataannya: “Kamu tahu kan peraturannya bagaimana. Jadi sanksinya apa?”

(4)   Teman

Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid. Namun guru akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi ini bisa berdampak positif dan juga bisa negatif. Conoh pernyataannya: “Kemarin kamu sudah janji untuk tidak terlambat lagi kan? Kok terlambat kenapa? Ya sudah, tidak apa-apa. Duduk sana. Nanti Bapak bantu. Kamu ini” (sambil tertawa ringan).

(5)   Manajer

Pada posisi ini guru melakukan sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Contoh pernyataanya: “Kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki permasalahan ini?”

 

Posisi kontrol yang diterapkan di sekolah saat ini masih bervariasi. Ada yang sudah berposisi sebagai manajer, ada yang pemantau, pembuat merasa bersalah, dan sebagian lagi masih ada yang posisi penghukum. Pada setiap masalah yang dihadapi peserta didik saya berusaha memberi contoh dengan berposisi kontrol sebagai manajer, yakni berusaha berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilahkan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, dan mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Hal ini sesuai dengan konsep pemikiran KHD bahwa salah satu tugas guru adalah untuk memfasilitasi murid sesuai dengan kodrat alam dan zamannya.

Dalam menghadapi permasalahan murid saya sudah mulai berusaha menerapkan segitiga restitusi dan merujuk keyakinan kelas yang telah dimiliki setiap kelas. Langkah-langkah restitusi yang saya lakukan sesuai dengan segitiga restitusi yaitu (1) menstabilkan identitas, supaya murid mempunyai rasa percaya diri untuk memperbaiki kesalahan setelah melakukannya, lalu (2) memvalidasi tindakan yang salah, supaya murid dapat mengungkapkan tujuan tindakan yang sudah dilakukan dan dapat mengambil solusi terbaik untuk memperbaiki kesalahannya, kemudian tahap (3) menanyakan keyakinan kelas, supaya murid mengingat kembali keyakinan kelas dan berusaha menerapkan keyakinan kelas tersebut. Hal ini sesuai dengan filosofi KHD tentang nilai berpihak pada murid, dan mau melakukan refleksi. Adapun dari sisi peran Guru Penggerak adalah sebagai pemimpin pembelajaran. Tentunya ini juga merupakan salah satu strategi dalam mencapai visi yang sudah dirumuskan.

Selain mengimplementasikan apa yang sudah saya pelajari di atas, saya juga menginisiasi bagaimana penguatan keyakinan kelas melalui afirmasi positif, yakni Capingisasi Nilai Kebajikan. Hal ini dilakukan dengan cara setiap murid membawa caping, diwarnai sesuai pembagian warna yang berbeda. Setelah itu setiap murid menuliskan satu nilai kebajikan atau karakter di setiap capingnya. Caping ini kemudian diletakkan sebagai penghias lingkungan di depan gerbang sekolah, sekaligus sebagai afirmasi positif. Setiap mata yang membaca kata di caping tersebut seakan diingatkan bahwa dirinya harus menjadi pribadi yang positif seperti yang tertulis. Dengan demikian diharapkan keyakinan kelas yang ada di setiap kelas bisa terus diimplementasikan dimanapun berada dan juga di dalam kegiatan apa saja. Kalau hal ini dapat terwujud secara kontinyu maka terwujud pula budaya positif sekolah. Semoga.[]




Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN

PEMIKIRAN REFLEKTIF TENTANG COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK TERKAIT DENGAN PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI DAN PEMBELAJARAN SOSIAL-EMOSIONAL (KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.3.)